Jumat, 16 Januari 2009

Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi

UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi Menjebak Perempuan
Umdah el-Baroroh

Kontroversi tentang Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi kembali hangat diperbincangkan setelah DPR melakukan dengar pendapat dengan artis dan pemain sinetron baru-baru ini. Pro-kontra, dukung-mendukung, serta berbagai tekanan mewarnai pembahasan RUU ini.

Dalam sebuah proses penggodokan draf RUU, pemandangan seperti ini sudah biasa. Namun, pro-kontra yang mewarnai sidang pembahasan RUU ini bukan pro-kontra biasa. Pasalnya, RUU tersebut menyangkut persoalan yang cukup rumit, yaitu pengaturan sikap, perilaku, cara berpakaian, dan ekspresi seseorang.

Dilihat dari sudut pandang hukum, undang-undang itu cukup aneh. Lazimnya, hukum lebih mengatur tindakan seseorang yang berkaitan dengan pihak lain, baik itu yang merugikan maupun yang menguntungkan, seperti mencuri, membunuh, perceraian, dan pernikahan. Sementara draf RUU ini berambisi mengatur bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, baik dalam berpakaian maupun berperilaku.

Hal ini terasa janggal, terutama ketika itu dihubungkan dengan kebebasan individu sebagai warga negara maupun manusia seutuhnya yang telah dijamin undang-undang (UU). Sikap seperti ini bahkan juga tidak kita dapati dalam agama. Meski agama mengatur beberapa tatanan moral manusia, termasuk dalam berpakaian dan bertingkah laku, tetapi hampir tidak kita dapati dalam aturan tersebut sebuah sanksi fisik akibat tindakan yang melanggarnya. Sanksi fisik hanya dikenakan dalam tindakan yang berkaitan dengan adanya pelanggaran dan penodaan atas hak-hak orang lain.

Persoalan lain yang memicu kontroversi RUU ini adalah adanya pihak perempuan yang akan menjadi korban pertama apabila UU tersebut disahkan. Asumsi itu bisa kita baca secara kasatmata dari isi draf RUU yang banyak menyoal tentang larangan menampakkan organ seperti payudara, pantat, dan pusar yang biasa ditonjolkan oleh sebagian perempuan.

Meskipun tujuan utamanya ingin memperbaiki moral bangsa, RUU tersebut tampak sekali belum menyentuh akar persoalan. Betulkah merosotnya tatanan moral bangsa ini akan selesai dengan adanya UU tersebut? Atau, betulkah merosotnya moral bangsa disebabkan oleh payudara, pantat, atau pusar perempuan? Benarkah ketika perempuan menutup seluruh tubuhnya akan menghentikan kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, seks bebas, dan sebagainya?

Bias kepentingan

Menurut penulis, RUU ini sangat bias jender, sangat patriarkis, dan masih memosisikan perempuan sebagai obyek seksual sehingga tidak mampu menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Selama ini yang menjadi korban pornografi adalah perempuan. Mereka terjebak pada sistem kapitalisme global. Seluruh iklan kosmetik, sabun, mobil, dan rokok selalu tidak ketinggalan untuk menampilkan perempuan. Mereka diekspos untuk dijadikan daya tarik bagi konsumen. Begitu pula halnya dengan media-media. Pada sampul depan yang ditampilkan selalu perempuan dengan liukan tubuh yang katanya menggoda laki-laki. Semua itu tentunya menyangkut kepentingan pemodal yang menguasai pasar.

Seorang artis, penyanyi, model, pekerja seks, atau bahkan perempuan biasa sekalipun hampir tak mempunyai kuasa untuk menolak pencitraan perempuan seperti di atas. Mereka sebenarnya tak lebih dari sekadar boneka yang diatur pemodal, sistem, dan budaya yang berpihak kepada laki-laki. Tubuh perempuan bukanlah milik perempuan sebab mereka tak berhak menentukan citra dirinya sendiri.

Bukankah upaya menampilkan perempuan dengan gaya demikian ditujukan untuk memuaskan nafsu seksual laki-laki? Mengapa kemudian yang diatur perempuan, yang sesungguhnya hanya menjadi obyek dan boneka nafsu laki-laki? Mengapa bukan moral dan sudut pandang laki-laki yang dibenahi dalam memandang dan memosisikan perempuan?

Apabila cara pandang laki-laki masih seperti itu, perdebatan soal RUU Anti-Pornografi ini tak akan ada solusinya karena baik yang pro maupun yang kontra pada dasarnya mempunyai kepentingan sama untuk mengeksploitasi perempuan. Bagi yang pro dengan RUU ini berkepentingan untuk tetap mengendalikan perempuan dalam penjara domestik yang ketat. Sementara yang kontra bisa jadi juga ingin tetap mengeksploitasi perempuan secara lebih bebas. Kepentingan di atas sering kali dibungkus dengan kedok moralitas.

Dalam memandang persoalan menyangkut perempuan sering kali perspektif perempuan tidak muncul sebagai pertimbangan utama. Persoalan seperti aborsi, pornografi, pornoaksi, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan perdagangan manusia selalu diselesaikan dengan cara pandang laki-laki.

Karena perempuan yang seharusnya menjadi perhatian utama dan dikedepankan kepentingannya selalu diabaikan, akibatnya mereka selalu menjadi obyek yang berlapis-lapis.

Tidakkah ini semakin menyulitkan bangsa kita yang sebagian besar rakyatnya adalah perempuan?

Umdah El Baroroh
Aktivis Seroja dan Mahasiswa S-2 UIN Jakarta

Sumber: Kompas

Tidak ada komentar: